Senin, 18 April 2016

Perfect Pain : Apakah Kekerasan Bisa Disebut Cinta?


Judul : Perfect Pain
Pengarang : Anggun Prameswari
Penerbit : Gagas Media
Genre : Romance

Sinopsis

Sayang, menurutmu apa itu cinta? Mungkin beragam jawab akan kau dapati. Bisa jadi itu tentang laki-laki yang melindungi. Atau malah tentang bekas luka dalam hati-hati yang berani mencintai. 

Maukah kau menyimak, Sayang? Kuceritakan kepadamu perihal luka-luka yang mudah tersembuhkan. Namun, kau akan jumpai pula luka yang selamanya terpatri. Menjadi pengingat bahwa dalam mencintai, juga ada melukai. 

Jika bahagia yang kau cari, kau perlu tahu. Sudahkah kau mencintai dirimu sendiri, sebelum melabuhkan hati? Memaafkan tak pernah mudah, Sayang. Karena sejatinya cinta tidak menyakiti.

Review

   Apakah mencintai membuatmu diijinkan untuk melukai pasanganmu?

   Apakah dengan mengatasnamakan cinta, kau dibolehkan untuk menyakiti pasanganmu hingga tak berdaya?

   Jika memang cinta seperti itu, saya rasa.... nggak akan ada orang yang mau merasakan cinta. Cinta yang diagungkan memberikan kepahitan, cinta yang diharapkan jadi cahaya justru menjadi kegelapan. Orang-orang tentu akan kabur kalau cinta seperti itu dan nggak akan sudi merasakan cinta. Namun, kita tahu, cinta nggak seperti itu, kan? Cinta yang benar-benar cinta tidak akan memberi kepahitan, sebaliknya, malah ketenangan.

   Errr....., kok saya malah ngomongin cinta, nggak ngomongin bukunya.

   Ya mau gimana lagi, ya. Aslinya juga saya mau ngomongin bukunya, tapi nih buku ada hubungannya sama cinta, makanya saya mbahas cinta dulu. Rada sedikit berbunga-bunga dan idealis dikit soal cinta nggak apa-apa, ya. Toh... ini di tulisan, kalau di kenyataan kan, penjabaran soal cinta bisa lain lagi. #eaaa

   Jadi, sebenarnya Perfect Pain ini buku tentang apa?

   Sudah jelas, ini buku romance. Tapi bukan romansa biasa. Ini menceritakan kepahitan seorang wanita bernama Bidari yang punya suami (yang saya nggak yakin, ni suami beneran cinta atau gila karena cintanya atau posesif dengan jiwa-raganya terhadap si istri) bernama Bram. Ceritanya benar-benar impian sebagian perempuan deh. Punya suami yang kerjaannya mapan, kaya, terus jadi ibu rumah tangga yang ngurus rumah dan anak. Sayang.... ceritanya nggak seindah itu.

   Di balik kata cinta yang selalu diungkapkan Bram, ternyata dia memiliki kelainan jiwa yang membuatnya hobi memukuli Bidari sampai istrinya babak beluar. Saya sebut Bram ini sebagai Subil (Suami Labil). Emosinya yang tidak terkontrol nyaris membawa Bidari ke alam kematian berkali-kali. Bidari sendiri nggak bisa lepas dari suaminya. Yang jadi asalan utama ya karena faktor ekonomi. Mau gimana lagi, Bidari nggak kerja, dia sudah punya anak, diperlakukan apa pun oleh suaminya mau nggak mau Bidari harus menerimanya meski jiwa raganya benar-benar sakit.

   Saya rada ngilu menamatkan buku ini. Membayangkan bagaimana seorang wanita terutama istri dipukuli sama suaminya sendiri bikin saya miris. Saya yakin, novel ini menceritakan sebagian kecil dari kisah-kisah yang ada di kehidupan nyata. Berapa banyak suami/istri yang melakukan KDRT tetapi bungkam? Saya rasa ada. Saya ndak berani bilang banyak atau sedikit, karena saya nggak memiliki data valid tentang hal tersebut. Semestinya, rumah tangga (keluarga) adalah pengayom. Satu sama lain menjadi penyangga. Dengan begitu, tercipta sebuah keluarga yang sehat seperti yang diharapkan yaitu, keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.

   Minus kekecewaan saya dengan hubungan cinta yang berkembang di sini, saya mulai bertanya-tanya, apakah kedua pasangan seperti Bidari dan Bram bisa diterapi? Maksud saya, apakah mereka bisa kembali membangun rumah tangga yang sehat? Saya penasaran, apa jadinya jika Bram bertobat dan beneran mau menjadi lelaki yang baik dan Bidari memiliki kekuatan pula untuk setara dengan Bram?

   Untuk semuanya, saya rate, 3.5 bintang untuk novel ini.

:D :D :D :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar